Saturday, May 7, 2016

MANIS yang KU DAPAT


Oleh : Liyana Nur Rofikhoh
Kini tangisku pecah mengingat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Ketika usiaku menginjak 7 tahun. Aku sungguh masih mengingatnya dengan jelas, meskipun peristiwa itu telah terjadi belasan tahun silam. Saat sepeninggalan ibu dan kakak perempuanku dalam kecelakaan bermotor., ayahku mengangkat seorang anak laki-laki dari jalanan yang berumur 3 tahun lebih tua dariku sebagai kakak angkatku.
Kali ini aku menangis bukan karena kembali bersedih atas sepeninggal ibu dan kakak perempuanku. Tetapi aku menangis mengingat dosa masa laluku yang selalu berbuat kejam dengan kakak angkatku. Anehnya, ia tak sedikit pun membalas menyakitiku. Ia sebenarnya menyayangiku tapi kala itu aku tak menyadarinya, aku hanya menuruti egoku.
Aku merasa tidak menginginkan Kak Alan menjadi pengganti Mbak Vera. Menurutku sosok Mbak Vera tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Tidak ada yang bisa menggeser posisi Mbak Vera di lubuk hatiku karena aku sangat menyayanginya. Entah mengapa aku sangat tidak menyukai Kak Alan. Aku kerap kali melontarkan kata-kata kasar padanya.
Kenapa sih kamu di sini, kamu tidak selevel sama aku. Kalo bukan karena ayahku yang seorang pemilik restoran terkenal di kota ini, kamu tidak akan berada di sini. Tempat kamu masih di kolong jembatan, bentakku.
Mendengar itu, Kak Alan hanya tertunduk. Ayahku yang tak sengaja mendengar ucapanku itu seketika menghukumku. Hal itu membuatku semakin membenci sosok Kak Alan, aku merasa hidup itu tak adil untukku. Keberuntungan selalu berpihak pada Kak Alan.
Esoknya ketika ayah berangkat bekerja, kekejamanku terhadap Kak Alan semakin menjadi-jadi. Aku pun masih ingat ketika ku sambarkan pisau dapur ke tangannya, hingga darah segar mengalir membasahi lantai dan pakaiannya. Aku merasa takut saat itu, perbuatanku sangat keterlaluan. Saat itu juga Bi Inah, pembantu di rumahku menjerit histeris. Kak Alan pun dilarikan ke rumah sakit, luka goresan itu membekas dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghilangkannya. Dan perbuatanku yang amat sadis itu membuat Kak Alan keluar dari rumah.
Pemergian kak Alan membuat kesehatan ayah menurun, membuat rasa bersalah dalam diriku menggunung. Restoran ayah tak terkendali hingga akhirnya bangkrut karena aku yang memang tak memiliki keahlian mengurusnya. Rumahku disita oleh bank, hingga membuat kami harus tunggang-langgang mencari kontrakan.
Mungkin jika Kak Alan masih bersama kami, mungkin ayah bahagia dan tak harus sakit-sakitan seperti ini,” sesalku lemah.
Dian,, kalau bisa kamu cari Kak Alan ya?” pinta ayah kepadaku sambil terbatuk-batuk. Aku sungguh tidak tega melihatnya sedemikian itu. ‘Ya, aku harus mencarinya,’ putus hatiku.
Iya yah.
Semakin lama, penyakit yang diderita ayah bertambah parah, ayah selalu menolak untuk dirawat di rumah sakit karena ia tahu bahwa keadaan ekonomi kami sangat memburuk.
"Ayah dirawat di rumah sakit aja ya biar cepat sembuh. Dian sedih melihat ayah sakit sakitan seperti ini,"  kataku. Aku sebisa mungkin menahan air mata yang telah mengambang di kelopak mataku agar tidak bergulir di pipiku.
“Tidak usah, Dian. Ayah tidak mau merepotkan kamu terus-terusan, lagi pula Ayah tau, kita tidak akan mampu menanggung biaya di rumah sakit,” begitulah ayahku menolaknya. Ayah tahu memang penghasilanku hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Sampai suatu ketika ayahku jatuh hingga tidak sadarkan diri. Tanpa berfikir panjang, aku meminta bantuan tetangga sekitar untuk membawa ayah ke rumah sakit.
Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang tempat ayah dirawat, aku khawatir dengan keadaan ayah, hatiku menangis, takut sesuatu hal terjadi padanya.
"Bagaimana keadaan ayahku, Suster?" tanyaku pada perawat yang baru saja keluar dari ruang unit darurat. Perasaanku sunguh tak karuan.
Ayah anda mengidap penyakit kanker paru-paru.” Aku terdiam.
***
"Berapa biaya perawatan yang harus saya bayar untuk pasien yang bernama Pak Firman, Suster? Saya anak beliau," tanyaku pada petugas administrasi rumah sakit.
Maaf, Mbak. Pembayaran administrasi Pak Fiman sudah dilunasi.
Lunas?
“Iya mbak."
"Kalau boleh tahu, siapa yang berbaik hati melunasinya?" tanyaku penasaran.
"Maaf, Mbak, orang yang melunasi semua biaya perawatan pak Firman meminta kami untuk tidak memberitahukan identitasnya pada, Mbak." Aku kembali terdiam, menebak-nebak di dalam hati, siapa kiranyayang berbaik hati kepada keluargaku?
"Emm,, terimakasih atas informasinya, Sus."
Aku berjalan menuju ruang rawat ayah. Tetapi, langkah kakiku seketika terhenti tepat di depan pintu ruangan ayah. Terlihat dari kaca pintu, seorang dokter muda berparas tampan berada di samping ranjang ayah. Ia tampak akrab dengan ayah, tiba-tiba aku melihat ayah meneteskan air mata. Mengapa ayah menangis? Aku semakin penasaran dengan hal yang terjadi. Aku tidak bisa melihat air mata ayah menetes, dengan terburu-buru aku masuk ke ruangan ayah.
"Mengapa ayah menangis?"
"Dian, ternyata…." Ucap ayah dengan sendunya.
"Ternyata apa yah?"
"Ayah saya kenapa, Dok?" tanyaku pada dokter muda itu. Belum sempat dokter itu menjawab, ayah menjawab terlebih dahulu.
"Kakakmu berada di depanmu," kata ayah. Aku melihat ke arah dokter itu, apa benar dokter itu Kak Alan? Pertanyaan itu muncul di pikiranku. Mengapa baru sekarang kita bertemu? Mungkinkah seorang yang dahulu anak jalanan kini berubah menjadi dokter yang sangat tampan? Apakah dia juga yang melunasi biaya rumah sakit ayah? Aku tak  bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa menangis setelah ia memperlihatkan segala bukti untuk membuatku percaya kalau dia benar-benar Kak Alan yang aku usir belasan tahun lalu. Bukti yang paling membuatku semakin yakin adalah ketika ia memperlihatkan goresan di tangannya sebelah kanan yang dahulu aku sambar dengan pisau.
“Ah, Kak Alan, ku tusukkan pisau di tanganmu. Tapi mengapa manis yang ku dapat?” desahku dengan deraian air mata.


0 comments:

Post a Comment