Oleh : Liyana Nur Rofikhoh
Kini tangisku pecah mengingat peristiwa
beberapa tahun yang lalu. Ketika usiaku menginjak 7 tahun. Aku sungguh masih
mengingatnya dengan jelas, meskipun
peristiwa itu telah terjadi belasan tahun silam. Saat sepeninggalan ibu dan
kakak perempuanku dalam kecelakaan bermotor., ayahku mengangkat seorang anak
laki-laki dari jalanan yang berumur 3 tahun lebih tua dariku sebagai kakak
angkatku.
Kali ini aku menangis bukan karena kembali
bersedih atas sepeninggal ibu dan kakak perempuanku. Tetapi aku menangis
mengingat dosa masa laluku yang selalu berbuat kejam dengan kakak angkatku.
Anehnya, ia tak sedikit pun
membalas menyakitiku. Ia sebenarnya menyayangiku tapi kala itu aku tak
menyadarinya, aku hanya menuruti egoku.
Aku merasa tidak menginginkan Kak Alan menjadi
pengganti Mbak Vera. Menurutku sosok Mbak Vera tidak dapat
digantikan oleh siapa pun.
Tidak ada yang bisa menggeser posisi Mbak Vera di lubuk hatiku karena
aku sangat menyayanginya. Entah mengapa aku sangat tidak menyukai Kak Alan. Aku
kerap kali melontarkan kata-kata kasar padanya.
“Kenapa
sih kamu di sini,
kamu tidak selevel sama aku. Kalo bukan karena ayahku yang seorang pemilik restoran terkenal di kota ini,
kamu tidak akan berada di sini. Tempat kamu masih di kolong jembatan,” bentakku.
Mendengar itu, Kak Alan hanya tertunduk. Ayahku
yang tak sengaja mendengar ucapanku itu seketika menghukumku. Hal itu membuatku
semakin membenci sosok Kak Alan, aku merasa hidup itu tak adil untukku.
Keberuntungan selalu berpihak pada Kak Alan.
Esoknya ketika ayah berangkat bekerja,
kekejamanku terhadap Kak Alan semakin menjadi-jadi. Aku pun masih ingat ketika
ku sambarkan
pisau dapur ke tangannya,
hingga darah segar mengalir membasahi lantai dan pakaiannya. Aku merasa takut
saat itu, perbuatanku sangat keterlaluan. Saat itu juga Bi Inah, pembantu di
rumahku menjerit histeris. Kak Alan pun dilarikan ke rumah sakit, luka goresan itu membekas dan
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menghilangkannya. Dan perbuatanku yang
amat sadis itu membuat
Kak Alan keluar dari
rumah.
Pemergian kak Alan
membuat kesehatan ayah menurun, membuat rasa bersalah dalam diriku menggunung.
Restoran ayah tak terkendali hingga akhirnya bangkrut karena aku yang memang
tak memiliki keahlian mengurusnya. Rumahku disita oleh bank, hingga membuat
kami harus tunggang-langgang mencari kontrakan.
“Mungkin
jika Kak Alan masih bersama kami, mungkin ayah bahagia dan tak harus sakit-sakitan seperti ini,” sesalku
lemah.
“Dian,, kalau bisa kamu cari Kak Alan ya?” pinta
ayah kepadaku sambil terbatuk-batuk. Aku sungguh tidak
tega melihatnya sedemikian itu. ‘Ya, aku harus mencarinya,’ putus hatiku.
“Iya
yah.”
Semakin lama, penyakit yang diderita ayah
bertambah parah, ayah selalu menolak untuk dirawat di rumah sakit karena ia
tahu bahwa keadaan ekonomi kami sangat memburuk.
"Ayah dirawat di rumah sakit aja ya biar
cepat sembuh. Dian sedih melihat ayah sakit sakitan seperti ini," kataku. Aku
sebisa mungkin menahan air mata yang telah mengambang di kelopak mataku agar tidak bergulir di pipiku.
“Tidak usah, Dian. Ayah tidak mau merepotkan
kamu terus-terusan, lagi pula Ayah tau, kita tidak akan mampu menanggung biaya
di rumah sakit,” begitulah ayahku menolaknya. Ayah tahu memang penghasilanku
hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Sampai suatu ketika ayahku jatuh hingga tidak
sadarkan diri. Tanpa berfikir panjang, aku meminta bantuan tetangga sekitar
untuk membawa ayah ke rumah sakit.
Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang tempat ayah dirawat, aku khawatir
dengan keadaan ayah, hatiku menangis, takut sesuatu hal
terjadi padanya.
"Bagaimana keadaan ayahku, Suster?"
tanyaku pada perawat yang baru saja keluar dari ruang unit darurat. Perasaanku sunguh tak karuan.
“Ayah
anda mengidap penyakit kanker paru-paru.” Aku
terdiam.
***
"Berapa biaya perawatan yang harus saya bayar untuk
pasien yang bernama Pak Firman, Suster? Saya anak beliau,"
tanyaku pada petugas administrasi rumah sakit.
“Maaf,
Mbak. Pembayaran administrasi Pak Fiman sudah dilunasi.”
“Lunas?”
“Iya mbak."
"Kalau boleh tahu, siapa yang berbaik hati
melunasinya?" tanyaku penasaran.
"Maaf, Mbak, orang yang melunasi semua
biaya perawatan pak Firman meminta kami untuk tidak memberitahukan identitasnya
pada, Mbak." Aku kembali terdiam, menebak-nebak di dalam hati, siapa
kiranyayang berbaik hati kepada keluargaku?
"Emm,, terimakasih atas informasinya,
Sus."
Aku berjalan menuju ruang rawat ayah. Tetapi,
langkah kakiku seketika terhenti tepat di depan pintu ruangan ayah. Terlihat
dari kaca pintu, seorang dokter muda berparas tampan berada di samping ranjang
ayah. Ia tampak akrab dengan ayah, tiba-tiba aku melihat ayah meneteskan air
mata. Mengapa ayah menangis?
Aku semakin penasaran dengan hal yang terjadi. Aku tidak bisa melihat air mata ayah menetes, dengan
terburu-buru aku masuk ke ruangan ayah.
"Mengapa ayah menangis?"
"Dian, ternyata…." Ucap ayah dengan sendunya.
"Ternyata apa yah?"
"Ayah saya kenapa, Dok?" tanyaku pada
dokter muda itu. Belum sempat dokter itu menjawab, ayah menjawab terlebih
dahulu.
"Kakakmu berada di depanmu," kata
ayah. Aku melihat ke arah
dokter itu, apa benar
dokter itu Kak
Alan? Pertanyaan itu muncul di pikiranku. Mengapa baru sekarang kita bertemu?
Mungkinkah seorang yang dahulu anak jalanan kini berubah menjadi dokter yang
sangat tampan? Apakah dia juga yang melunasi biaya rumah sakit ayah? Aku
tak bisa berkata apa-apa, aku hanya bisa
menangis setelah ia memperlihatkan segala bukti untuk membuatku percaya kalau
dia benar-benar Kak Alan yang aku usir belasan tahun lalu. Bukti yang paling
membuatku semakin yakin adalah ketika ia memperlihatkan goresan di tangannya
sebelah kanan yang dahulu aku sambar dengan pisau.
“Ah, Kak Alan, ku
tusukkan pisau di tanganmu. Tapi mengapa manis yang ku dapat?” desahku dengan
deraian air mata.