Sejarah Sastra Bangsa Kita
Pelajaran sejarah sudah tak asing lagi bagi telinga kita yang notabennya lulusan/tamatan SMA/SMK/MA
ata sederajat. Akan tetapi, ilmu tersebut cenderung tak popular dikalangan kita
masyarakat Indonesia. Usianya juga relative masih muda kalau dihitung dari pertumbuhannya
pada akhir tahun 1920-an. Tak sedikit dan tak jarang pula yang mengatakan
sejarah penting dan banyak manfaatnya. Pernah pula, presiden republik Indonesia
menyampaikan pidatonya dengan kalimat jas merah (jangan lupakan sejarah). Hanya
saja masih jarang yang menjejaki ilmu sejarah, walaupun hal tersebut.
Dalam mengerti sejarah (Gott chal,1975)
dijelaskan secara panjang lebar pengertian sejarah (history) yang
berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ilmu. Oleh filsuf
aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai pertelaan sistematis mengenai
seperangkat gejala alam, entah susunan kronologimerupakan faktor/ tidak didalam
pertelaan.
Sejarah bukanlah objek kajian yang otonom
karena sejarah selalu mengalami perkembangan dari abad ke abad mulai pada tahun
1920-an dengan terbitnya azab dan sengsara karangan Merari Siregar, sedangkan
puisi Indonesia baru dimulai tahun 1928-an dengan sajak-sajak Muhammad Yamin
dan Rusman Effendi.
Perhatian masyarakat Indonesia mengenai
masalah sejarah sastra tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia ditahun1930-an
sebagaimana terbaca dalam “polemik kebudayaan “ suntingan Achidat K. Mihardja
(1977). Polemic antara tokoh-tokoh S. Takdir Alisjaabana, Sanusi Pane,
Poerbadjaraka, M.Amir, Ki Hajar Dewantar, Adinegoro dll walaupun tidak secara
khusus memperdebatkan konsep kasusasteraan Indonesia, dikatakan Ajip bahwa
tradisi sastra berbahasa daerah telah berkembang selam berabad-abad dengan
khazanah yang berlimpah. Perubahan pun terjadi sejalan dengan tumbuhnya pers
(surat kabar) mulai pertengahan abad ke-19 yang memperkenalkan bahasa prosa
yang lugas dan praktis untuk menyampaikan kehidupan sehari-hari. Ditambah
dengan bacaan sastra Eropa melalui Belanda maka orang mempergunakan bahasa
prosa untuk bercerita yang akhirnya melahirkan cerbung (cerita bersambung)
dikoran-koran, dan baru pada tahun 1920an terbitlah roman-roman berbahasa
melayu melalui Penerbit Balai Pustaka.
Bahasan lain oleh Jacob Sumardjo tahuun
1992 pada buku “Dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia”, yakni mengenai
ajakannya memperhatikan sastra Melayu Rendah dan sastra peranakan tionghoa yang
berkembang pada akhir abad ke-19 sekaligus menjadi embrio sastra Indonesia
sehingga aawal sastra Indonesia tidak semata-mata pada peranan Balai Pustaka
tahun 1917.
Pada zaman penjajahan Belanda abad ke-19
belum ada bahasa Indonesia yang berkembang yaitu bahasa-bahasa daerah
diantaranya bahasa melayu, sunda, jawa, dan bali. Namun dengan sendirinya,
sastra yang berkembangpun berasal dari bahasa daerah tersebut, akan tetapi yang
berperan penting adalah bahasa jawa, melayu, dan sunda. Perkenalan dan
pandangan terhadap kesusastraan Indonesia tidak lepas dari latar belakang
sejarah dan kemasyarakatan. Dijelaskan Teew bahwa pembicaraan awal tentang
sastra Indonesia pasti terkait dengan pertumbuhan bahasa melayu yang bermula
abad ke-7, hingga kemudian menjadi bahasa Indonesia awal abad ke-20 sebagaimana
terangkum dalam sumpah pemuda.
Ditegaskan kembali oleh Bakri Siregar yang
mengatakan bahwa masa awal sastra modern tidak bisa dipisahkan dari masalah
masyarakat dan bangsa Indonesia dalam perkembangan sejarahnya dan dengan alat
sastra itulah kesadaran sosial dan politik bangsa
indonesia pada awal abad ke-20 mulai nampak. Pandangan tersebut disampaikan
oleh Bakri Siregar diantaranya tokoh-tokoh pahlawan multitatuli, R.A kartini,
Ki Hajar Dewantara, Mas Marco Kortodikromo, Semaun, dan Rustam Efendi. Tokoh
tersebut sebagai juru bicara tentang kesadaran sosial melawan kolonialisme
Belanda.
Selain itu sejarah telah menunjukkan pesatnya perkembangan sastra
golongan tionghoa yang memakai bahasa melayu rendah, baik dikalangan mereka
sendiri maupun dikebanyakan masyarakat nusantara yang telah mengenal
pendidikan. Sementara itu, sastra daerah seperti melayu, sunda, dan jawa yang
mulai bersentuhan dengan kebudayaan barat tidak dapat menjangkau masyarakat
yang luas karena kendala bahasa. Akibatnya sastra sunda modern dan sastra jawa
modern hanya berkembang dikalangan masyarakat nusantara sendiri. Penjelasan ini
lebih pada bagaimana pengaruh sastra golongan tionghoa terhadap pertumbuhan
sastra indonesia, karena mereka memakai bahasa melayu rendah yang telah dikenal
dan dipergunakan juga oleh masyarakat nusantara.
Segala macam pernyataan tersebut dapat dirangkum bahwa sejarah
sastra indonesia tak terlepas dari perjuangan para pahlawan dan masyarakat
indonesia sendiri yang dimulai sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
melalui dinamika sosial budaya masyarakat indonesia sendiri.