JIHADKU, BERHIJAB
Oleh : Rahma Alifah
“Maya, kamu cantik,” celetuk Mirna di suatu pagi.
“Ah, bisa aja kamu Mir. Setiap hari penampilanku kan memang
begini,” ucapnya tersipu.
“Beneran kok,” tekan Mirna sekali lagi, terkagum-kagum ia dengan
kecantikan temannya sendiri. “Kamu tampak berbeda, bukan karena penampilan
kamu, tapi… hati kamu,” ocehnya sekali lagi.
Maya bingung dengan apa yang dimaksudkan oleh teman sekaligus
sahabatnya itu, sebegitu cantikkah dirinya hingga temannya sendiri sampai
terpegun-pegun karenanya? Ya, dia memang sudah berpenampilan ‘indah’ sejak
kecil lagi. Ibunya selalu mengatakan, ‘keindahan bukan berasal dari luar tetapi
harus dari dalam’ itulah mengapa ia selalu berpakaian bak permen yang
terbungkus rapi, tanpa sedikitpun celah yang mampu menarik semut merayap,
hinggap apalagi sampai menghisap.
Dulu ia tak mengerti sedikit pun tentang keindahan yang dikatakan
oleh ibunya, berkali-kali hatinya melarikan diri dari ribuan nasehat ibunya dan
sedikit pun ia tak mengambil berat tentang ‘keindahan’ itu. Yang ia tahu
hanyalah nyaman terbuka, tak perlu merasa sesak dengan semua hal tentang
‘keindahan’ itu.
“Maya!!! Ye.., malah melamun,” kata Mirna geram. Ia sudah
banyak berkata, eh, yang diajak berkata malah terbang melayang bersama angan.
“Hehehe, sorry Mir,” senggihnya tak berkesudahan. Ternyata ia sudah
berangan jauh. Tak sedikit pun kata Mirna yang masuk dalam otaknya, hanya
puing-puing yang samar-samar melesat tanpa sanggup menerobos daun telinganya.
“Kapan ya aku dapat hidayah seperti kamu, sepertinya itu sangat
luar biasa sulit buatku. Sudah beberapa kali aku mencoba tapi selalu saja aku
merasa nggak nyaman,” keluh Mirna kemudian.
Maya tersenyum. “Aku juga tengah belajar Mirna, lihatlah mataku,
apakah mataku memperlihatkan kesedihan?”
Mirna menggeleng, “Kenapa dengan matamu?” tanyanya seperti orang
dungu.
“Ya, karena aku yakin. Dan keyakinan itu ada di sini, di hati kita,
Mirna. Selama kita yakin pada hidayah Allah yang selalu bersama dan melindungi
kita, maka kita telah menemukan jalan memperoleh hidayah Allah itu sendiri.
Awalnya memang sangat berat Mirna, seperti halnya kamu, aku dulu pun
pakai-lepas tunggang langgang. Tapi, karena keyakinanku yang terus aku pupuk
hingga akhirnya keputusanku bulat, dan beginilah aku dengan hijabku,” jelasnya
dengan hati terbuka. Ia tahu sahabatnya seorang yang baik hati, namun hatinya
saja yang belum tersentuh untuk menjalankan kewajibannya yang satu itu.
“Tapi Maya…,”
“Syuh.., tak ada tapi. Kenyaman akan tercipta bersama jalannya waktu,
yang penting kita yakin,” tekan Maya meyakinkan sahabatnya.
Mirna diam sejenak memikirkan kata-kata Maya, kemudian ia tersenyum
manis, “Kamu benar Maya, aku mau berjihad. Jihadku dengan berhijab. Karena
berawal dari itu, aku terhindar dari apa yang dapat menjahilkanku. Aku mau
Maya, aku mau. Please, bimbing aku,” ucapnya berbinar-binar.
Maya tersenyum lebar, akhirnya hati sahabatnya terbuka untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah sejati, “Alhamdulillah,
insyaAllah Mir, kita belajar membimbing diri kita bersama-sama. Kita berada di
jalan Allah. InsyaAllah, Allah akan membimbing kita,” tuturnya ikhlas dari
hati. Ia sangat bersyukur, akhirnya ada satu lagi hamba Allah yang terbuka
pintu hatinya setelah dirinya.
0 comments:
Post a Comment